Di tengah hiruk pikuk industri pertambangan timah di Bangka Belitung, Pengadilan Pajak baru-baru ini mengukuhkan sebuah keputusan yang keras, tetapi logis, bagi PT BT. Perkara dengan nomor PUT-003722.11/2024/PP/M.IIIA Tahun 2025 ini bukan sekadar urusan kurang bayar pajak, melainkan pertarungan sengit antara kepatuhan formal di atas kertas melawan realitas penambangan rakyat di lapangan.
Pada akhirnya, Pengadilan memutuskan bahwa logika peraturan harus menang, menolak banding PT BTdan mempertahankan tagihan pajak total senilai Rp194.219.069,00
Titik api sengketa ini bermula dari koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 22 Masa Pajak Juli 2018 sebesar Rp8.966.716.000,00. Koreksi ini muncul karena Terbanding (Direktur Jenderal Pajak) menemukan adanya transaksi pembelian pasir timah yang dinilai belum dipungut PPh Pasal 22 oleh PT BT.
Pembelaan Perusahaan: PT BT mengajukan banding dengan dalil yang terkesan humanis dan rasional: mereka membeli komoditas timah dari petani atau individu yang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Menurut PT BT, berdasarkan PMK Nomor 34/PMK.010/2017, PPh Pasal 22 wajib dipungut hanya dari penjual yang memiliki IUP. Karena penjualnya adalah petani non-IUP, maka kewajiban memungut PPh Pasal 22 dianggap tidak ada.
Perusahaan bahkan membeberkan alur bisnis yang rumit: petani menambang di lahan konsesi milik pihak lain (CV BMP). Petani tidak bisa menjual secara legal tanpa izin mobilisasi (Surat Jalan/SJ) dari pemilik konsesi. PT BT, sebagai pembeli, akhirnya membayar biaya/fee kepada pemilik IUP untuk mendapatkan izin agar transaksi jual-beli dengan petani menjadi 'legal'.
Argumentasi PT BT yang memaparkan rumitnya rantai pasok lokal ini justru menjadi bumerang di mata Pengadilan.
Majelis Hakim berpegangan teguh pada Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang secara tegas melarang pihak mana pun, termasuk petani, yang tidak memiliki IUP untuk menjual mineral atau batubara.
Dalam putusannya, Pengadilan Pajak menyatakan:
"Bahwa terkait dengan pendapat PT BT yang menyatakan bahwa pembelian dilakukan dari orang pribadi bukan pemegang IUP, diberikan pendapat bahwa pendapat PT BT tersebut justru memperlihatkan adanya pelanggaran hukum dan bertentangan dengan Pasal 105 ayat (1) dan Pasal 161 UU Pertambangan Mineral dan Batubara".
Jika PT BT membeli timah yang kemudian diekspor, bahan baku tersebut, berdasarkan dokumen, harus berasal dari sumber legal yang memiliki IUP/CnC. Dalam kasus ini, Pengadilan menyimpulkan bahwa pembelian pada dasarnya berasal dari pemegang IUP, yaitu CV BMP, sesuai dengan dokumen formal (seperti surat perintah pengiriman).
Dengan kata lain, PT BT tidak dapat berlindung di balik praktik ilegal atau semi-legal di lapangan untuk menghindari kewajiban pajak. Aturan pajak (PPh Pasal 22) harus selaras dengan aturan sektor (UU Pertambangan).
PT BT juga sempat menuding bahwa Surat Ketetapan Pajak (SKPKB) yang mereka terima adalah cacat hukum dan cacat prosedur karena proses pemeriksaan pajak oleh DJP melewati batas waktu yang ditentukan.
Namun, Pengadilan Pajak menepis dalil ini, dengan menukil Undang-Undang KUP dan UU Pengadilan Pajak. Keberatan terhadap masalah prosedur penerbitan surat ketetapan (seperti jangka waktu pemeriksaan) harus diajukan melalui mekanisme Gugatan, bukan Banding.
Dengan demikian, PT BT dipandang salah memilih pintu hukum, sehingga dalil cacat prosedurnya pun tidak dipertimbangkan.
Akhirnya, Majelis Hakim menolak seluruh permohonan banding PT BT, menegaskan bahwa dalil-dalil DJP sudah tepat dan sesuai dasar hukum yang memadai.
Putusan ini menjadi pengingat tegas bagi seluruh industri komoditas: terlepas dari kompleksitas dan realita praktik di lapangan, kepatuhan formal terhadap rezim izin pertambangan dan kewajiban pemungutan pajak adalah hal yang mutlak dan tidak bisa dinegosiasikan.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini